Ribetnya Membuat Passport
Kalau membahas soal traveling ke Singapore, bayangan repotnya mengurus perjalanan ini jadi terngiang kembali di benak saya. Kerepotan pertama nggak lain dan nggak bukan adalah mengurus pembuatan passport. Saya pikir mengurus passport sama halnya seperti mengurus KTP dimana kita tinggal datang ke TKP, daftar administrasi, foto, tunggu sebentar dan bim salabim...KTP bisa ada di tangan dalam hitungan hari. Tapi pikiran saya salah ternyata.
Saran saya, kalau ingin membuat passport, sebisa mungkin jangan di sela-sela jam kantor karena hal itu akan berjalan dengan sia-sia. Hal inilah yang terjadi pada saya. Untungnya Boss saya super duper baik hati (hehehe..piss Pak). Beliau memberikan saya ijin untuk bolak-balik kantor imigrasi Jakarta Utara untuk membuat passport demi traveling perdana saya ke luar negeri.
Kedatangan saya pertama kali ke kantor imigrasi sangat minim informasi. Bersama dengan 2 teman saya (Saskia & Dian), kami hanya bermodalkan niat dan beberapa dokumen pendukung seperti : KTP, kartu keluarga, ijasah dan surat keterangan dari kantor. Ketika sampai di kantor imigrasi, ternyata semua petugas sedang beristirahat karena jam makan siang. Alhasil, kami ikutan cari spot warteg terdekat untuk ikutan makan siang.
Setelah selesai makan, kami kembali ke kantor imigrasi. Atas informasi dari seorang bapak yang bekerja di tempat fotokopi yang berada di sebelah kantor, kami membeli selembar formulir aplikasi pembuatan passport dengan harga kurang lebih Rp 5.000 (harga pastinya saya sudah lupa karena hal tersebut berlangsung di tahun 2010). Setelah membeli formulir tsb, kami masuk ke dalam kantor dan mulai mengisi form tersebut di sela-sela hiruk-pikuk kegiatan keimigrasian siang itu.
Saya pikir urusan akan selesai ketika formulir sudah kami isi dan tanda tangani. Tapi setelah cukup lama mengantri, ternyata ada yang memberi tahu kami bahwa selain fotokopi dokumen pendukung yang harus dibawa, ternyata petugas juga memerlukan dokumen aslinya!. Byurr..bagaikan disiriam air dingin di tengah hari yang terik, akhirnya kami kembali ke kantor dengan sia-sia. Kalau saya sih nggak perlu khawatir karena Boss saya sudah memberikan restu dari awal untuk mengurus hal ini. Tapi beda halnya dengan Dian & Saskia. Mereka harus mencari waktu untuk ijin pergi ke kantor imigrasi lagi di sela-sela sibuknya pekerjaan mereka (walaupun saya juga begitu sih..hehe).
Setelah mendapatkan informasi yang lengkap dan membawa semua dokumen yang diperlukan (baik asli maupun fotokopi), akhirnya kami memutuskan untuk datang kembali di minggu berikutnya. Bukan berarti kami akan mendapatkan lebih mudah kesempatan. Tentu tidak. Tepat 1 jam sebelum waktu makan siang, hujan deras tiba-tiba turun dan membuat jalanan tergenang air. Bahkan hujan bertambah deras ketika jam menunjukkan pukul 12 siang dimana kami harus segera meluncur ke kantor imigrasi agar kami tidak terlalu telat kembali ke kantor.
Keyakinan saya kembali goyah, tapi Saskia & Dian tetap menyemangati saya untuk pergi traveling sehingga mau tidak mau kami harus menerobos hujan badai tsb. Ketika saya hendak ijin ke atasan saya bahwa saya akan kembali ke kantor telat karena akan mengurus pembuatan passport, justru beliau kaget dan terjadilah pembicaraan seperti ini :
"Kamu yakin Mar mau pergi hujan-hujan begini?" tanyanya dengan ekspresi kaget.
"Iya Pak..tenang aja. Kita pergi naik taksi kok.
"Kamu mau naik taksi dari mana?." tanyanya lagi masih tidak percaya dengan kemampuan 3 sekawan.
"Dari depan gedung Pak". jawab saya polos.
"Nggak bisa..terus kamu mau basah-basahan sambil nunggu taksinya. Tunggu sebentar..."
Tanpa ba bi bu, Boss saya langsung mengeluarkan handphone-nya dan berbicara dengan seseorang nuh jauh disana. Setelah pembicaraan singkat tsb, dia langsung menutup teleponnya dan berbicara lagi kepada saya (tepatnya sih memberikan perintah).
"Kamu pergi ke garasi. Supir saya akan jemput kalian disana dan antar kalian ke imigrasi".
Entah apa ekspresi saya waktu mendengar hal tsb. Antara percaya dan tidak percaya dengan pendengaran saya, Boss saya rela meminjamkan supir dan mobilnya hanya untuk mengantar saya, Saskia, dan Dian ke kantor imigrasi. Betapa bangganya saya memiliki atasan yang begitu peduli dengan persoalan staffnya. Berkali-kali saya mengucap syukur dalam hati atas kebaikan yang saya terima hari itu.
Kembali ke topic, setelah kami tiba di kantor imigrasi, kami langsung menyerahkan dokumen kami ke pihak petugas dan menunggu nomor urut agar bisa di interview hari itu juga. Tapi apa daya, nomor antrean sudah terlalu panjang untuk kami tunggu mengingat kami harus kembali ke kantor. Dengan berat hati, akhirnya kami kembali lagi ke kantor. Tapi lumayan, setidaknya ada progress sampai passport bisa berada di genggaman saya.
Singkat cerita, akhirnya dengan bantuan adik saya yang mewakili ke kantor imigrasi, saya mendapatkan tanggal interview dan foto. Saya lalu mengajukan cuti 1 hari ke atasan saya dan akhirnya dengan kesabaran ekstra, saya harus menunggu di kantor imigrasi keesokan harinya. Saya tiba di imigrasi pkl. 10 pagi namun baru dipanggil untuk iterview pkl. 15:30 sore. Berjam-jam saya menunggu hanya untuk menjalani proses interview dan foto yang tidak lebih dari 10 menit. Sebenarnya menunggu tidak terlalu membuat saya kesal. Namun, nomor antrean saya selalu diselak oleh para calo yang seenak jidatnya mondar-mandir ke dalam kantor petugas untuk memasukkan berkas para "client" mereka sehingga bisa didahulukan. Sungguh rasanya, saat itu saya ingin sekali menjitak para calo dan berteriak pada petugas imigrasi karena membiarkan kami yang sudah menunggu dari pagi hari diselak begitu saja oleh para calo.
Setelah giliran saya tiba, saya langsung masuk ke ruang interview dan ditempatkan di salah satu bilik. Diinterview sekitar 5 menit oleh petugas untuk diperiksa alamat rumah, kantor, tujuan pembuatan passport, dan blablabla. Setelah itu, saya bergeser ke bilik sebelah dan difoto. Saya sudah pasrah dengan hasil fotonya mengingat waktu menunggu yang lama. Setelah itu, saya keluar dan diarahkan ke tempat pembayaran passport. Di tahun 2010, saya harus membayar biaya administrasi sebesar Rp 270.000. Setelah itu, saya pulang dengan bermodalkan selembar kertas untuk pengambilan passport di minggu selanjutnya. Untuk urusan pengambilan passport, saya percayakan kepada adik karena saya sudah terlalu banyak ijin ke Boss sehingga membuat saya tidak enak hati.
Dan finally...setelah perjuangan kurang lebih 3 minggu, passport perdana saya jadi juga dan siap untuk di cap dari negara-negara yang saya kunjungi. Yeahhh.
Terima kasih untuk comment-nya Merlina Frandez :)
ReplyDelete